PETUNJUK TEKNIS PELAYANAN INFORMASI STATUS KERUSAKAN LAHAN DAN/ATAU TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA

Printer-friendly versionSend by emailPDF version

A. GAMBARAN UMUM.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten / Kota, pelaksanaan pengendalian kerusakan lahan dan / atau tanah untuk produksi biomassa dilakukan sebagaimana berikut ini :

1. Penetapan kriteria baku kerusakan tanah daerah.

       Untuk keperluan penetapan kondisi tanah dan status kerusakan  tanah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dapat menetapkan kriteria baku kerusakan tanah daerah, jika kondisi tanah di wilayahnya lebih rentan terhadap kerusakan dibandingkan dengan kondisi rata-rata nasional. Dalam penetapan kriteria baku kerusakan tanah daerah tersebut mengacu pada kriteria baku kerusakan tanah nasional dan berkoordinasi dengan Menteri.

2. Penetapan kondisi dan status kerusakan lahan dan/atau tanah.

       Penetapan kondisi dan status kerusakan lahan dan / atau tanah dilakukan oleh bupati / walikota. Dalam penetapan kondisi lahan dan / atau tanah tersebut, perlu dipetakan dengan skala minimal 1:100.000 (kabupaten) dan 1:50.000 (kota). Untuk pelaksanaan pemetaan dan penetapan kondisi lahan dan / atau tanah pada masing- masing kabupaten / kota dikoordinasikan oleh gubernur. Berdasarkan peta kondisi lahan dan / atau tanah daerah kabupaten / kota, selanjutnya gubernur menyusun peta kondisi lahan dan / atau tanah daerah provinsi dengan skala minimal 1:250.000.

3. Pengawasan atas pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah.

       Pengawasan atas pengendalian kerusakan lahan dan / atau tanah dilakukan oleh bupati / walikota, gubernur dan Menteri. Dalam pelaksanaan pengawasan tersebut, dilakukan berdasarkan informasi mengenai areal yang berpotensi mengalami kerusakan, kondisi lahan dan/atau tanah dan status kerusakan lahan dan/atau tanah.

4. Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah.

      Untuk mengefektifkan dan mensinergikan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa diperlukan pengaturan di daerah antara lain:

       a. Penetapan kriteria baku kerusakan lahan dan/atau tanah.

       b. Penetapan kondisi dan status kerusakan lahan dan/atau tanah.

       c. Pelaksanaan pengawasan, terkait dengan usaha dan/atau kegiatan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak lintas kabupaten/kota atau lintas provinsi.

       d. Pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah yang dilakukan oleh penanggungjawab usaha dan / atau kegiatan.

 5. Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan.

     Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan bertanggung jawab atas pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah di arealnya dan wajib melakukan pencegahan kerusakan, penanggulangan dan pemulihan kondisi lahan dan/atau tanah.

B. PENGERTIAN.

     Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan:

  1. Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfer, atmosfer, tanah, geologi, timbulan  (relief), hidrologi, populasi tumbuhan, dan hewan, serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini, yang bersifat mantap  atau  mendaur.
  2. Tanah adalah salah satu komponen lahan, berupa lapisan teratas  kerak bumi yang terdiri dari bahan mineral dan bahan organik serta mempunyai sifat fisik, kimia, biologi, dan mempunyai kemampuan menunjang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
  3. Biomassa adalah tumbuhan atau bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting, batang, dan akar, termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan, dan hutan tanaman.
  4. Produksi biomassa adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa.
  5. Kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat dasar tanah yang melampaui kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa.
  6. Status kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah kondisi  tanah di tempat dan waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa.
  7. Lahan untuk produksi biomassa adalah areal yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah provinsi atau rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota sebagai kawasan untuk produksi biomassa (seperti lahan pertanian, lahan perkebunan, kawasan hutan tanaman, ruang terbuka hijau perkotaan).
  8. Penyampaian informasi status kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah hasil pengukuran kriteria baku kerusakan  tanah  yang diinformasikan kepada masyarakat melalui media cetak, media elektronik, atau papan pengumuman.

C. LANGKAH KEGIATAN.

    Untuk pelaksanaan penetapan status kerusakan lahan dan/atau tanah dilakukan dengan tahapan sebagaimana berikut ini:

  1. Identifikasi kondisi awal tanah.

           Identifikasi kondisi awal tanah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui areal yang berpotensi mengalami kerusakan. Identifikasi kondisi awal tanah ini dilakukan dengan cara:

           a. Menghimpun data sekunder, untuk memperoleh informasi awal mengenai sifat-sifat dasar tanah yang terkait dengan parameter kerusakan lahan dan/atau tanah. Peta tanah dan peta lahan kritis biasanya memuat informasi sifat dasar tanah.

           b. Menghimpun data sekunder yang terkait dengan kondisi iklim, topografi, penggunaan tanah, dan potensi sumber kerusakan.

           c. Menghimpun data sekunder lain yang dapat mendukung penetapan kondisi tanah, seperti citra satelit, foto udara, data kependudukan dan sosial ekonomi masyarakat, serta pengaduan masyarakat.  Data dan informasi yang terhimpun kemudian dituangkan dalam peta dasar skala minimal 1:100.000, jika memungkinkan peta tersebut didigitasi sehingga menjadi peta-peta tematik tunggal.

           d. Melakukan overlay atau superimpose atas beberapa peta tematik yang telah dibuat guna memperoleh gambaran tentang areal yang berpotensi mengalami kerusakan lahan/tanah.

       2. Analisis sifat dasar tanah.

           Dari hasil identifikasi kondisi awal tanah, areal yang berpotensi mengalami kerusakan tanah selanjutnya dilakukan analisis sifat dasar tanah yang mengacu pada kriteria baku kerusakan tanah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa.

           Analisis sifat dasar tanah dilakukan melalui:

          a. Pengamatan dan pengambilan contoh tanah.

          b. Analisis contoh tanah.

         Tata cara pengamatan, pengambilan contoh tanah dan analisis contoh tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri  Negara  Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2006 tentang Tata  Cara Pengukuran Kriteria Baku Kerusakan Tanah Untuk  Produksi  Biomassa.

    3.  Evaluasi untuk penetapan status kerusakan lahan dan/atau tanah. Evaluasi ini bertujuan untuk menentukan rusak tidaknya lahan dan/atau tanah berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah.

         Evaluasi dilakukan dengan membandingkan hasil analisis sifat dasar tanah dengan kriteria baku kerusakan tanah. Apabila salah satu ambang parameter terlampaui, lahan dan / atau tanah dinyatakan rusak. Selanjutnya hasil evaluasi ini digunakan untuk menetapkan status kerusakan lahan dan/atau tanah.

        a. Evaluasi kerusakan lahan dan/atau tanah di lahan kering akibat erosi air sebagaimana Tabel 1.

        Tabel 1. Ambang kritis erosi besaran erosi menurut tebal tanah.

Tebal Tanah

Ambang Kritis Erosi

(PP 150/2000)

Besaran erosi

 

Melebihi

/ Tidak

(mm/10 tahun)

(mm/10 tahun)

< 20 cm

> 0,2 - < 1,3

 

 

20 - < 50 cm

1,3 - < 4

 

 

50 - < 100 cm

4,0 - < 9,0

 

 

100 – 150 cm

9,0 – 12

 

 

> 150 cm

> 12

 

 

 

        b. Evaluasi   kerusakan    lahan   dan/atau    tanah   di   lahan   kering sebagaimana Tabel 2.

        Tabel  2.    Ambang kritis berdasarkan hasil pengamatan menurut parameter di lahan kering.

No.

Parameter

Ambang Kritis (PP 150/2000)

Hasil

Pengamatan/ Analisa

 

Melebihi

/ Tidak

1.

Ketebalan solum

< 20 cm

cm

 

2.

Kebatuan Permukaan

> 40 %

%

 

3.

Komposisi fraksi

< 18 % koloid;

> 80 % pasir kuarsitik

%

%

 

4.

Berat Isi

> 1,4 g/cm3

g/cm3

 

5.

Porositas total

< 30 % ; > 70 %

%

 

6.

Derajat pelulusan

air

< 0,7 cm/jam;

> 8,0 cm/jam

cm/jam

 

7.

pH (H2O) 1 : 2,5

< 4,5 ; > 8,5

 

 

8.

Daya hantar listrik

/DHL

> 4,0 mS/cm

mS/cm

 

9.

Redoks

< 200 mV

mV

 

10.

Jumlah mikroba

< 102 cfu/g tanah

cfu/ g tanah

 

 

      c.   Evaluasi   kerusakan    lahan   dan/atau    tanah   di   lahan   basah sebagaimana Tabel 3.

      Tabel 3.    Ambang kritis berdasarkan hasil pengamatan menurut parameter di lahan basah.

No.

Parameter

Ambang Kritis (PP 150/2000)

Hasil Pengamatan

/   Analisa

 

Melebihi

/ Tidak

1.

Subsidensi Gambut di atas pasir kuarsa

> 35

cm/tahun untuk ketebalan gambut ≥ 3 m atau 10 % /5 tahun untuk ketebalan

gambut < 3 m

cm

 

2.

Kedalaman Lapisan Berpirit dari permukaan

tanah

< 25 cm dengan pH ≤ 2,5

cm

 

3.

Kedalaman Air

Tanah dangkal

> 25 cm

cm

 

4.

Redoks untuk tanah berpirit

> - 100 mV

mV

 

5.

Redoks untuk gambut

> 200 mV

mV

 

6.

pH (H2O) 1 : 2,5

< 4,0 ; > 7,0

 

 

7.

Daya Hantar Listrik/DHL

> 4,0 mS/cm

mS/cm

 

 

8.

 

Jumlah mikroba

 

< 102 cfu/g tanah

 

cfu/g tanah

 

Dari hasil evaluasi tersebut, bupati/walikota selanjutnya menetapkan status kerusakan tanah yang kemudian diumumkan pada masyarakat. Hasil evaluasi juga digunakan untuk verifikasi atau updating status kerusakan lahan dan/atau tanah pada setiap satuan peta kerusakan lahan dan/atau tanah yang telah disusun sebelumnya atau dalam kurun waktu lima tahun.

Sumber : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 20 Tahun 2008